Wednesday, July 19, 2006

Puisi Sahlul


Rumput Taman

aku adalah rumput taman

dikekang keindahan

khayalku terpangkas

ideku terberangus

geliatku terbuang

atas nama harmoni

aku hanyalah rumput taman

tumbuh di atas lahan tuhan

dibesarkan kesengajaan

di atas kanvas penuh goretan

aku sekedar rumput taman

dirampas kesamaan

dipotong kerapian

untuk kebersamaan

Talang Betutu, 190706:1325


guntingan sejarah

bayang-bayang petua jayabaya

hilir mudik di tengah keraguan

kisah-kisah nyata terus mengintai

kekaburan titian

mungkin hanya sejengkal

melewati hiruk pikuk isyarat

gosip yang menyebrangi alam raya

kalung besi telah melingkari

leher kota yang sibuk mengantar

pengerat harta

begitu juga gunung yang menancap

di ubun-ubun kecamatan

teriris rata menembus

pantat kabupaten

saat biru sendu memeras peluhnya

gugusan batu kapur

terserak dibawa tetesan

embun subuh yang menggelisah anak sungai

Ciputat, 18 Juli 2006


TARIAN KONTINEN

sekali lagi goyangan ganjalan bumi

menarikan mautnya

memang cerita tarian mautnya hanya menunggu saat

karena berabad bakatnya terkubur dalam ketenangan

tubuh-tubuh kembali terpontang-panting

meninggalkan kekuatan yang mengikat

darah, daging, air yang menyatu padu

terberai mengikuti desah riak dan lirik

angkaranya

batas-batas tak lagi terang

mengenali kapan menjadi tenang

Ciputat, 18 Juli 2006

Monday, January 30, 2006

Saturday, January 28, 2006

MISKIN KESOMBONGAN

“Kau tak perlu membagakan ayahmu itu. Apa yang telah diperbuat, tidak banyak memberikan manfaat bagi keluarga ini. Dia orang yang tak pernah mempunyai perhatian terhadap keluarga. Dia hanya memikirkan banyak orang. Tapi dia tak tahu kalau kau harus makan yang lebih bergizi, supaya tidak sakit-sakitan seperti ini. Dia juga tak tahu kalau kau dan adik-adikmu yang masih kecil-kecil itu juga harus ganti pakaian. Lihat saja pakaian mereka sudah cingkrang.
“Sementara kau tahu sendiri, Ibumu hanya bisa memasak untuk seisi rumah ini, mencuci pakaian semua yang ada di sini, membersihkan semua lantai atas rumah sebesar ini. Kau sendiri tak pernah membantu. Tapi ayahmu, sudah beberapa hari tidak memberikan uang belanja. Tiga hari yang lalu, dia memberi uang lima ribu perak. Dan kau tahu sendiri, untuk beli cabe, tahu, tempe, sayur, dan bumbu-bumbu masak itu pun tidak cukup. Dua hari yang lalu Ibumu sudah menambah catatan hutangnya pada warung sebelah. Minyak tanah 4 liter, untuk cadangan beberapa hari. Minyak goreng satu liter setengah. Memangnya Ibumu tidak malu untuk selalu menambah beban warung itu. Bisa-bisa warung itu tidak mau lagi memberi hutangan. Bahkan bisa tutup, bangkrut, karena tidak ada uang modal untuk belanja. Lalu apa yang akan kau banggakan dengan mempunyai ayah seperti itu?
“Asal tahu saja kau, ayahmu itu tidak bisa mencari duit. Apalagi berbelanja untuk kepentingan keluarga. Semua perabot yang ada di rumah ini adalah hasil jerih payah Ibumu. Sekarang kita bisa punya piring, mangkok, gelas, sendok, garpu, dan lain sebagainya, bukan karena beli, tapi semua adalah pemberian orang-orang, saat menyelenggarakan slametan dan acara perkawinan yang hampir setiap bulan ada. Biasanya kalau acara slametan, kita bisa dapat ember, panci, baskom dan peralatan masak lainnya, itu pun kalau kita diundang orang kaya. Makanya ayahmu sering ibu marahi saat sebelum kau lahir. Supaya datang saja ke acara slametan orang kaya, walaupun tidak diundang. Dan kalau acara perkawinan biasanya dapat piring, mangkok, dan lain-lain, itu pun ibu harus memasukkan sendok serta gelas tuan rumah ke dalam kantong berkat itu. Sekarang kau bisa lihat, kita punya piring lima lusin. Ya, siapa tahu saat kau kawin nanti bisa kita pakai, lumayan kan?
“Sudah, kau tidak usah pikirkan itu semua. Ibu tahu kau dapat banyak cerita dari orang-orang di luar. Mereka pasti bilang ayahmu itu orang hebat. Mau melakukan apa saja demi membantu orang lain. Tapi ingat, dia tak peduli dengan keluarga. Memang, hati ayahmu itu sangat halus perasaannya. Dia tidak pernah menyakiti hati orang lain. Namun, kau juga mesti ingat, dia menyakiti hati kita semua, hati anak isterinya. Lalu kau mau masih percaya kata orang-orang itu?
“Kita ini memang sudah dibilang orang miskin. Miskin harta dan perasaan. Namun kita tidak seharusnya semiskin itu. Orang lain boleh mengasihani keluarga kita. Akan tetapi kita jangan bangga dengan kemiskinan ini. Kita harus memangkas garis kemiskinan ini dengan kesombongan diri terhadap diri kita sendiri, bukan kepada orang lain. Biar tidak dimarahi orang banyak. Kita juga tidak boleh bangga kalau kita bisa sombong pada diri sendiri, walaupun itu kekayaan kita satu-satunya. Karena hidup ini hanya bisa kita tundukkan dengan kesombongan untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Justeru kita akan mati ngenes, kalau kita salah menempatkan kesombongan diri kita pada situasi dan tempat yang salah. Sebaliknya, kita akan menguasai kemiskinan, saat kita bisa sombong pada diri sendiri. Kemiskinan ini akan tunduk menyerah pada kita. Kita bisa memainkan kemiskinan kita untuk meraih kebahagiaan. Sebaliknya, kita akan merasa sangat sengsara saat kita dikuasai dan dimainkan oleh kemiskinan ini.
“Kau tenang saja. Ibu tahu, kau membutuhkan sosok ayah dalam dirimu saat ini. Kau mencoba untuk membangun rasa kesombongan dengan mengumpulkan serpihan-serpihan kebanggaan yang bisa dipakai sebagai bahan kesombongan itu. Kau akan menemukan yang lebih besar potensi kesombongan itu, tidak harus mencari-cari dari luar dirimu. Kalau kau mencari dari luar, kesombongan itu akan menyerang orang yang berada di luar dirimu. Sama saja kau telah dipersiapkan orang lain sebuah dan mungkin banyak lagi liang-liang kubur untuk dirimu. Dan itu artinya, kau harus bekerja keras untuk menyiapkan oksigen sebagai bekal hidup dalam ruang yang gelap dan kedap.
“Coba kau telusuri apa yang bisa menyombongkan dirimu yang berada dalam dirimu sendiri. Ibu hanya tahu, kau punya wajah cantik, yang tidak dimiliki oleh banyak gadis lainnya. Kau punya tubuh yang indah, yang bisa membuat orang lain iri dan ingin mengejarmu. Kau punya kerendahan hati, yang bisa membuat orang lain kagum pada dirimu. Dan kau juga mempunyai kesombongan yang bisa dipoles dengan keramahan. Itu adalah potensi yang luar biasa. Kau tidak usah melibatkan ibu atau ayahmu untuk itu. Apalagi atas nama teman, tetangga, kerabat, nenek moyang atau Presiden pun. Budaya kita sudah cukup memberi kita pelajaran. Budaya yang kita sombongkan, Budaya yang kita adopsi dari negeri orang lain, ternyata melahirkan malapetaka atas kehidupan kita sendiri.
“Kau perhatikan, betapa budaya kita sendiri telah terhina orang lain. Kita dianggap tidak punya budaya sendiri. Kita dianggap plagiator. Semuanya kita serap, tak tahu itu dari timur, atau barat, atau selatan, atau utara, kemudian kita sombongkan pada diri kita sendiri, dan bahkan kita menyombongkan pada orang lain. Kita justeru mengubur hidup-hidup apa yang sebenarnya kita miliki sendiri. Bahkan kita akhirnya tidak pernah sombong dengan apa yang kita miliki sendiri untuk diri sendiri, apalagi menyombongkan pada orang lain.
“Kau perhatikan sekali lagi, justeru budaya kita dicari, ditemukan dan diusung oleh orang lain untuk dikembangkan dan disombongkan pada kita. Dan lucunya, itu yang kita sombongkan pada orang lain itu, padahal kita sebenarnya dihina, dikubur dalam kegelapan dan tanpa menyiapkan tabung oksigen atau lampu penyinar, siapa tahu kita menemukan kembali yang bisa kita sombongkan dalam diri kita. Kita sudah miskin kesombongan. Kita sudah kehilangan semuanya. Budaya kita enta kemana, budaya orang lain tidak bisa diklaim sebagai milik kita, dan ibu tidak tahu, budaya apa sedang dan dari mana yang sedang menuntun kita ini? Ibu hanya berpesan cari dirimu dalam dirimu. Kalau terpaksa adopsi orang lain, jangan pernah menyebut orang lain itu, anggaplah itu adalah punyamu yang dipinjam orang lain, dan kini kau ambil kembali.
“Namun semua tergantung pada caramu memilih hidup ini yang seperti apa. Mau dirimu sendiri atau seperti ayahmu. Yang tak pernah merasa punya keluarga. Keluarga yang ada hanya ketika menjawab pertanyaan teman atau orang lain. Keluarga yang dibuat sebagai alasan untuk menolak ajakan atau permohonan orang lain.”
Ciputat, 01:05, 15 Januari 2005

Friday, January 27, 2006

 Posted by Picasa

leye-leye.jpg Posted by Picasa

PUISI NAKAL

AKU INGIN KAU

Aku ingin kau
Mendekat di sisiku
Menempel eratkan hangat tubuhmu
Membakar hormon-hormon dalamku

Aku ingin kau
Meraih rasaku
Mengeluarkan semua geloraku
Meluluhkan sendi-sendi dalamku

Aku ingin kau
Melumat habis diriku
Menerbangkan segala hayalku

21 Januari 2006 13:8



KULIHAT KAU

Kulihat lekuk tubuhmu
Dalam ketat sandang
Menyembulkan empuknya nafsu yang segar

Kulihat lembut dadamu
Hinggap di antara longgar kancing-kancing baju
Menampakkan kenyalnya hasrat

Kulihat mesum wajahmu
Tersapu bedak tebal
Menyalakan rayu

Kulihat semua gairahmu
Untuk siapa?

21Januari 2006 13: 26


KENCAN
Datanglah
Duduklah
Bukalah
Rebahlah
Regangkanlah
Masukkanlah
Mendesahlah
Meracaulah
Menjeritlah
Lunglailah
Bangunlah
Pakailah
Terimahlah
Masukanlah
Pergilah

21 Januari 2006 13:32


GANJIL
Tiga di antara mereka
Satu telah tiada

21 Januari 2006 01:46

PUISI

DEMI YANG TAK PERNAH

Demi tangis yang tak pernah terisakkan
Demi senyum yang tak pernah tersunggingkan
Demi tawa yang tak pernah terbahakkan
Demi omong yang tak pernah terucapkan
Demi pandang yang tak pernah tersorotkan
Demi sakit yang tak pernah terkeluhkan
Demi ingin yang tak pernah tersampaikan
Demi buat yang tak pernah terlaksanakan
Demikian semuanya tak pernah terjadikan
20 januari 2006 00:58


KESAKSIAN MALAM

Dalam kebisuan kegelapan malam
Malam yang meronta-ronta mengejar jutaan PSK yang terjerat tali keputusaasaan
Malam yang menjadi selimut kejujuran eksistensi kebirahian
Malam yang mengejar eksebisi kekayaan
Malam yang menghamburkan keserakahan
Malam yang melantunkan syair fakir dalam kelaparan
Malam yang menguburkan harapan
20 januari 2006 01:14

PUISI

HILANG

Wajah kita entah telah kemana?
Atas nama mode dan modernitas
Bagaikan darah tersiram air kulit kita terkelupas
Atas nama globalisasi kita menciut menggigil takut terhempas

Wajah kita entah telah kemana?
Atas nama trend dan trendi
Kita hilang rupa tertutup bedak dan gincu-gincu impor

Wajah kita entah telah kemana?
Atas nama gaya dan gairah
Kita hilang rasa tertabur Mc Donald
Tersiram coca cola

Wajah kita entah telah kemana?
Atas nama keren dan karena ita-itu
Kita hilang bau tererosi cologne dan parfum siapa?
08 Januari 2006 02:01


NYANYIKAN SEDIH UNTUK NEGERI

Kepada burung yang selalu bernyanyi di pagi hari
Lantunkan senandung tangis di hari ini
Senandung pengiring negeri
Penghibur ibu pertiwi

Kepada burung yang selalu bernyanyi di pagi hari
Nyanyikan syair yang paling sedih
Untuk negeri yang sedang dirundung pedih ini
Agar kami semua mengerti

Kepada burung yang selalu bernyanyi di pagi hari
Negeri ini tak boleh lagi menari di malam hari
Sebab bencana kini hadir silih berganti

Kepada burung yang selalu bernyanyi di pagi hari
Sampaikan salam kami untuk malam hari
Lusa jangan ada lagi yang mati
Harapan negeri ini belum saatnya pergi

19 Januari 2006

Cerpen

MATI KETAWA


Selama dua bulan penuh hari-hariku terjebak dalam kubangan berlumpur. Aku susah bergerak. Tekanan bertubi-tubi yang menghimpit diriku membuat kakiku tak mampu lagi diangkat. Badanku berada dalam lubang tanpa sela. Suaraku pun telah habis berteriak kencang tanpa ada yang dengar. Aku sudah tak tahan lagi untuk meneruskan kehidupan ini. Rasanya ingin bunuh diri. Tapi apa yang bisa dipakai? Aku hanya diam terpejam melemaskan semua syaraf dan otot yang bisa aku sadari.
Dalam kegalauan dan keputusasaan semua masa laluku menghambur kencang dalam dada dan kepalaku yang telah memutih. Aku susuri kehidupanku tahap setahap menggapai masa kecilku yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan.
* * *
Aku dilahirkan dalam keluarga yang penuh dengan kecukupan. Bapakku seorang pejabat desa yang disegani. Orang bilang dia memancarkan kharisma yang luar biasa. Tak seorang pun berani menatap wajahnya yang putih bagai pualam. Kata-katanya halus, menyusup lembut dalam sukma yang mendengarnya. Hingga orang takkan pernah menyesal untuk memberikan apapun yang dipunyainya kepada keluargaku. Walaupun sebenarnya Bapakku telah menolak dengan segala hati. Namun selanjutnya, semua pemberian yang tidak dikehendakinya diberikannya kepada orang lain. Entah orang itu siapa, sampai kini pun aku belum pernah tahu.
Empat saudaraku, dua laki-laki dan dua perempuan, adalah anak yang selalu mendapatkan perhatian dari banyak orang. Mereka terlihat sopan, seperti Bapakku. Hanya aku yang paling terlihat nakal. Tapi aku paling disayang oleh seluruh isi rumahku. Aku mendapat perhatian lebih oleh kakak-kakakku, mungkin aku orangnya lucu, penuh sensasi, dan tak peduli dengan ejekan orang lain. Segala bentuk ejekan rasanya pernah dihadiakan kepadaku. Justeru karena aku tak pernah peduli itu, saudara-saudaraku menjadi bisa tertawa lepas. Sebab di luar, mereka adalah orang-orang yang pendiam. Jalannya selalu merundukkan wajah.
Hari-hari tiba-tiba berubah. Keluargaku diterpa kehinaan. Bapakku, diam-diam telah menghamili seorang pembantu rumah tangga tetangga sebelah rumah kami. Warga kampungku mengusir seluruh keluargaku keluar dari kampung itu. Aku, yang telah terbiasa terhina oleh ejekan, tak mampu menahan hinaan yang bagiku sangat dahsyat. Aku kabur memisahkan diri dari keluargaku. Hidupku terlunta-lunta di tengah kota. Melakukan apapun untuk bertahan hidup. Aku menjadi sangat sibuk, menawarkan jasa, tenaga dan sedikit pikiran. Melupakan segala masa laluku.
Semangatku untuk hidup mendapat perhatian serius banyak orang. Aku mendapatkan banyak pekerjaan, dengan gajih harian yang cukup. Malam-malam aku mengangkut buah-buahan untuk dijual di pasar induk. Tidur dua-tiga jam, merapikan mobil-mobil dan motor-motor yang parkir di pasar. Siang bergantian dengan temanku, aku pergi ke tokoh kelontong menjadi tukang angkat barang dagangan milik seorang saudagar China. Singkatnya aku berhasil mempunyai tempat tinggal yang layak, motor butut, dan cewek yang sangat setia, yang tak pernah lepas dari dekapanku, walaupun takpernah resmi menjadi pasutri.
Tiga tahun lebih kami, orang bilang, kumpul kebo. Bahkan seorang bayi berhasil dilahirkan oleh pasanganku. Kami tak terlalu dipusingkan dengan upacara perkawinan, yang konon sangat sakral. Selama tiga tahun, cewekku tak pernah menuntut aku untuk mengawininya, apalagi saat dia hamil. Dia menjalani kehamilannya tanpa kerisihan, seperti halnya orang lain yang telah meresmikan perkawinannya dalam formalitas. Namun orang-orang di dekatku selalu mengingatkan kami untuk mengikuti aturan ini. Kadang aku membantah dengan alasan, yang menurutku sangat rasional. Sebab walaupun tanpa pernikahan, kami mempunyai komitmen yang kuat.
“Bukankah inti dari pernikahan adalah komitmen, lantas apa bedanya? Daripada perkawinan hanya untuk melahirkan perceraian?” tanyaku suatu saat. Sesaat orang-orang itu hanya diam.
“Persoalannya bukan sekedar itu. Perkawinan bukan sekedar komitmen. Bukan pula karena kau dan cewekmu hidup sendiri di tempat ini. Kau punya tetangga-tetangga yang hidup dengan aturan ini. Mereka menganggap perkawinan adalah ikatan yang lebih kongkrit dibandingkan dengan sekedar komitmen. Bagaimana dengan anakmu itu nanti? Dia butuh catatan kelahiran, butuh kepastian hukum untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak yang hidup dalam aturan negara, aturan sekolah, dan banyak sekali aturan-aturan yang membutuhkan perkawinan orang tuanya.” Jawab salah seorang dari mereka.
“Bukannya surat-surat administrasi itu bisa dibikin sendiri? Toh, sekarang sudah bisa memalsukan dokumen-dokumen penting dengan mudah. Sudahlah, jangan terlalu merisaukan, atau malah menakuti-nakuti aku. Aku hidup dalam alam yang konkrit. Jangan bikin sesuatu yang konkrit menjadi melayang-layang, tak jelas apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seseorang untuk menikmati hidup ini lebih apa adanya. Surat-surat itu, hanya rekayasa seseorang untuk mendapatkan sesuatu dari kita-kita, kan? Mereka hanya ingin berkuasa atas nama sebuah struktur jabatan. Biarlah hidup ini berjalan apa adanya. Tak usah mengingkari kenyataan, mempersulit keadaan yang sebenarnya bisa dipermudah.” Kilahku.
Tak lama setelah anakku yang pertama lahir, aku berhasil membuka usaha dagang pakaian. Relasiku banyak. Usahaku cepat berkembang. Omsetku semakin naik. Hampir di setiap kota aku buka cabang.
* * *
Sampai akhirnya dunia ini direnggut oleh keringat dan darah yang tiada henti. Aku tersenyum bangga saat kesengsaraan demi kesengsaraan yang aku tabur pada orang-orang yang aku sengaja benar-benar menyiksa mereka. Tiba-tiba aku pun tersenyum getir ketika seluruh keluargaku terjerembab dalam kenistaan yang dibalaskan oleh musuh-musuhku. Saat itulah, energi yang terpendam dalam setiap lekuk tubuh menegang. Wajahku terasa memerah, mataku ingin keluar, mulutku bergetar keras, dahiku mengkerut dan urat-urat dileherku bertonjolan, ingin melepas dendam ini.
Tapi jasadku tetap saja tak mampu menggerakkan kegeraman ini. Hanya khayalku yang mengembara jauh penuh strategi. Bahkan suaraku hatiku pun tak pernah mampu terekspresikan dalam simbol-simbol yang bermakna. Aku menjadi sangat dingin. Sedingin ular sawah yang lelah dalam jaring ikan sang nelayan. Aku benar-benar tak berdaya merasakan segala yang pernah aku banggakan. Tiba-tiba raungan tangis anak-anakku begitu getir terdengar. Ruangan tidurku riuh oleh suara-suara yang sangat aku kenal. Aku pun tersadar,
“Apakah aku telah diantar menuju alam abadi yang diharap dan ditakuti banyak orang?”, gumamku.
Aku menunggu jawaban. Dan aku pun masih menantinya, aku terus mengharapnya, namun tak ada kata pun yang bisa aku pahami. Isakan isteriku tampaknya memberikan isyarat dibenakku. Bahwa saatnya dunia ini harus berjalan tanpa diriku. Tak kusangka, aku merasakan sesuatu yang keluar dari dua sisi mataku. Rasanya aku ingin menemani perputaran nasib ini hingga aku merasa puas dengan segala yang aku perbuat. Aku tak rela jika kehidupan ini melangkah tanpa diriku. Karena aku takut langkahnya hanya memberikan kenikmatan-kenikmatan pada orang-orang yang tak aku harapkan.
Aku kembali marah. Dan sangat marah. Kemarahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang, lebih kencang, dan sampai akhirnya jemariku kembali merasakan eratnya genggaman isteriku. Pandanganku menerawang ke langit-langit. Aku menyaksikan wajah-wajah sedih, kusut, dan penuh air mata mengepungku. Aku tarik urat dan syaraf kebahagianku untuk mencipta ketenangan orang-orang di sekitarku. Namun mereka bersikukuh dengan kesedihannya. Aku pun tersenyum, benar-benar aku sudah melakukan senyum yang manis. Mereka masih saja tetap tak mau bersenyum. Mereka benar-benar angkuh dalam kesedihan. Akhirnya aku putuskan untuk tertawa sekeras-sekerasnya.
“Haaa haaa ha ha ha haaa..” tiba-tiba aku merasakan semua berhenti. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Akan tetapi tubuhku juga tiba-tiba tak aku rasakan lagi. Aku terlelap dalam tidur panjang. L

Elsas-Ciputat, 31 Desember 2005