Saturday, January 28, 2006

MISKIN KESOMBONGAN

“Kau tak perlu membagakan ayahmu itu. Apa yang telah diperbuat, tidak banyak memberikan manfaat bagi keluarga ini. Dia orang yang tak pernah mempunyai perhatian terhadap keluarga. Dia hanya memikirkan banyak orang. Tapi dia tak tahu kalau kau harus makan yang lebih bergizi, supaya tidak sakit-sakitan seperti ini. Dia juga tak tahu kalau kau dan adik-adikmu yang masih kecil-kecil itu juga harus ganti pakaian. Lihat saja pakaian mereka sudah cingkrang.
“Sementara kau tahu sendiri, Ibumu hanya bisa memasak untuk seisi rumah ini, mencuci pakaian semua yang ada di sini, membersihkan semua lantai atas rumah sebesar ini. Kau sendiri tak pernah membantu. Tapi ayahmu, sudah beberapa hari tidak memberikan uang belanja. Tiga hari yang lalu, dia memberi uang lima ribu perak. Dan kau tahu sendiri, untuk beli cabe, tahu, tempe, sayur, dan bumbu-bumbu masak itu pun tidak cukup. Dua hari yang lalu Ibumu sudah menambah catatan hutangnya pada warung sebelah. Minyak tanah 4 liter, untuk cadangan beberapa hari. Minyak goreng satu liter setengah. Memangnya Ibumu tidak malu untuk selalu menambah beban warung itu. Bisa-bisa warung itu tidak mau lagi memberi hutangan. Bahkan bisa tutup, bangkrut, karena tidak ada uang modal untuk belanja. Lalu apa yang akan kau banggakan dengan mempunyai ayah seperti itu?
“Asal tahu saja kau, ayahmu itu tidak bisa mencari duit. Apalagi berbelanja untuk kepentingan keluarga. Semua perabot yang ada di rumah ini adalah hasil jerih payah Ibumu. Sekarang kita bisa punya piring, mangkok, gelas, sendok, garpu, dan lain sebagainya, bukan karena beli, tapi semua adalah pemberian orang-orang, saat menyelenggarakan slametan dan acara perkawinan yang hampir setiap bulan ada. Biasanya kalau acara slametan, kita bisa dapat ember, panci, baskom dan peralatan masak lainnya, itu pun kalau kita diundang orang kaya. Makanya ayahmu sering ibu marahi saat sebelum kau lahir. Supaya datang saja ke acara slametan orang kaya, walaupun tidak diundang. Dan kalau acara perkawinan biasanya dapat piring, mangkok, dan lain-lain, itu pun ibu harus memasukkan sendok serta gelas tuan rumah ke dalam kantong berkat itu. Sekarang kau bisa lihat, kita punya piring lima lusin. Ya, siapa tahu saat kau kawin nanti bisa kita pakai, lumayan kan?
“Sudah, kau tidak usah pikirkan itu semua. Ibu tahu kau dapat banyak cerita dari orang-orang di luar. Mereka pasti bilang ayahmu itu orang hebat. Mau melakukan apa saja demi membantu orang lain. Tapi ingat, dia tak peduli dengan keluarga. Memang, hati ayahmu itu sangat halus perasaannya. Dia tidak pernah menyakiti hati orang lain. Namun, kau juga mesti ingat, dia menyakiti hati kita semua, hati anak isterinya. Lalu kau mau masih percaya kata orang-orang itu?
“Kita ini memang sudah dibilang orang miskin. Miskin harta dan perasaan. Namun kita tidak seharusnya semiskin itu. Orang lain boleh mengasihani keluarga kita. Akan tetapi kita jangan bangga dengan kemiskinan ini. Kita harus memangkas garis kemiskinan ini dengan kesombongan diri terhadap diri kita sendiri, bukan kepada orang lain. Biar tidak dimarahi orang banyak. Kita juga tidak boleh bangga kalau kita bisa sombong pada diri sendiri, walaupun itu kekayaan kita satu-satunya. Karena hidup ini hanya bisa kita tundukkan dengan kesombongan untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Justeru kita akan mati ngenes, kalau kita salah menempatkan kesombongan diri kita pada situasi dan tempat yang salah. Sebaliknya, kita akan menguasai kemiskinan, saat kita bisa sombong pada diri sendiri. Kemiskinan ini akan tunduk menyerah pada kita. Kita bisa memainkan kemiskinan kita untuk meraih kebahagiaan. Sebaliknya, kita akan merasa sangat sengsara saat kita dikuasai dan dimainkan oleh kemiskinan ini.
“Kau tenang saja. Ibu tahu, kau membutuhkan sosok ayah dalam dirimu saat ini. Kau mencoba untuk membangun rasa kesombongan dengan mengumpulkan serpihan-serpihan kebanggaan yang bisa dipakai sebagai bahan kesombongan itu. Kau akan menemukan yang lebih besar potensi kesombongan itu, tidak harus mencari-cari dari luar dirimu. Kalau kau mencari dari luar, kesombongan itu akan menyerang orang yang berada di luar dirimu. Sama saja kau telah dipersiapkan orang lain sebuah dan mungkin banyak lagi liang-liang kubur untuk dirimu. Dan itu artinya, kau harus bekerja keras untuk menyiapkan oksigen sebagai bekal hidup dalam ruang yang gelap dan kedap.
“Coba kau telusuri apa yang bisa menyombongkan dirimu yang berada dalam dirimu sendiri. Ibu hanya tahu, kau punya wajah cantik, yang tidak dimiliki oleh banyak gadis lainnya. Kau punya tubuh yang indah, yang bisa membuat orang lain iri dan ingin mengejarmu. Kau punya kerendahan hati, yang bisa membuat orang lain kagum pada dirimu. Dan kau juga mempunyai kesombongan yang bisa dipoles dengan keramahan. Itu adalah potensi yang luar biasa. Kau tidak usah melibatkan ibu atau ayahmu untuk itu. Apalagi atas nama teman, tetangga, kerabat, nenek moyang atau Presiden pun. Budaya kita sudah cukup memberi kita pelajaran. Budaya yang kita sombongkan, Budaya yang kita adopsi dari negeri orang lain, ternyata melahirkan malapetaka atas kehidupan kita sendiri.
“Kau perhatikan, betapa budaya kita sendiri telah terhina orang lain. Kita dianggap tidak punya budaya sendiri. Kita dianggap plagiator. Semuanya kita serap, tak tahu itu dari timur, atau barat, atau selatan, atau utara, kemudian kita sombongkan pada diri kita sendiri, dan bahkan kita menyombongkan pada orang lain. Kita justeru mengubur hidup-hidup apa yang sebenarnya kita miliki sendiri. Bahkan kita akhirnya tidak pernah sombong dengan apa yang kita miliki sendiri untuk diri sendiri, apalagi menyombongkan pada orang lain.
“Kau perhatikan sekali lagi, justeru budaya kita dicari, ditemukan dan diusung oleh orang lain untuk dikembangkan dan disombongkan pada kita. Dan lucunya, itu yang kita sombongkan pada orang lain itu, padahal kita sebenarnya dihina, dikubur dalam kegelapan dan tanpa menyiapkan tabung oksigen atau lampu penyinar, siapa tahu kita menemukan kembali yang bisa kita sombongkan dalam diri kita. Kita sudah miskin kesombongan. Kita sudah kehilangan semuanya. Budaya kita enta kemana, budaya orang lain tidak bisa diklaim sebagai milik kita, dan ibu tidak tahu, budaya apa sedang dan dari mana yang sedang menuntun kita ini? Ibu hanya berpesan cari dirimu dalam dirimu. Kalau terpaksa adopsi orang lain, jangan pernah menyebut orang lain itu, anggaplah itu adalah punyamu yang dipinjam orang lain, dan kini kau ambil kembali.
“Namun semua tergantung pada caramu memilih hidup ini yang seperti apa. Mau dirimu sendiri atau seperti ayahmu. Yang tak pernah merasa punya keluarga. Keluarga yang ada hanya ketika menjawab pertanyaan teman atau orang lain. Keluarga yang dibuat sebagai alasan untuk menolak ajakan atau permohonan orang lain.”
Ciputat, 01:05, 15 Januari 2005

No comments: